Welder Indonesia tersertifikasi dibutuhkan di Jepang

Industri di dalam negeri diperkirakan masih kekurangan ribuan tenaga pengelasan (welder) setiap tahun, terutama yang memiliki kualifikasi industri dan sertifikasi internasional. Padahal, banyak sektor industri yang membutuhkan pekerjaan ini, antara lain galangan kapal, otomotif, dan konstruksi. Namun, industri tersebut sering kesulitan karena jumlah welder berkualitas di dalam negeri sangat terbatas.

Selama ini, kebutuhan welder dipenuhi oleh lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah dan swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Sayangnya, selain jumlah lulusannya tidak banyak, keterampilan mereka belum memenuhi kualifikasi industri. Di sisi lain, permintaan terhadap welder di luar negeri cukup tinggi, terutama dari Jepang yang dikenal sebagai pusat industri otomotif dan perkapalan dunia.

Sebagai negara dengan angkatan kerja yang besar, peluang ini seharusnya bisa dinikmati Indonesia. Kondisi tersebut menjadi perhatian Mohammad Moenir. Praktisi industri perkapalan yang berpengalaman bekerja lebih dari 25 tahun di PT PAL Indonesia (Persero) ini mengaku prihatin dan ingin mengisi peluang kerja tersebut bagi anak-anak negeri. Setelah pensiun dari BUMN itu pada tahun 2007, Moenir mulai merintis lembaga pendidikan dan pelatihan kerja khusus teknologi las.

Berbekal modal semampunya, dia membeli lahan murah di pinggiran kota Surabaya dan mulai mewujudkan mimpinya itu pada 2014. Akhirnya berdirilah lembaga pendidikan dan pelatihan kerja bernama Kampuh Welding Indonesia (KWI) daerah Sambikerep, Surabaya. Lembaga ini cukup diminati, terbukti dari jumlah siswanya yang terus bertambah dan berhasil ditempatkan di sejumlah industri. Pada tahun 2015, siswa KWI berjumlah 110 orang, kemudian bertambah menjadi 300 orang pada 2016, lalu 700 orang pada 2017, dan 1.000 orang pada 2018. Pada 2019, jumlah siswa KWI ditargetkan 2.000 orang, yakni 1.200 orang di Surabaya dan 800 orang di Cikarang.

Tekad Moenir mendirikan KWI juga didorong oleh kemitraannya dengan galangan kapal Jepang ketika menjabat direksi PT PAL. Saat itu, dia ikut merintis kerja sama dengan Mitsui Engineering & Shipbuilding untuk memagangkan seluruh pekerja PAL di galangan kapal Jepang itu, seperti welder, painter, machinery dan lainnya. Selama periode 2000-2007, PAL mengirim 700 pekerjanya ke Mitsui untuk kerja magang selama 1-3 tahun. Program ini dinilai berhasil meningkatkan keterampilan dan produktivitas pekerja PAL cukup signifikan.

Setelah Moenir pensiun, program itu sempat terhenti karena semua pekerja PAL sudah pernah dikirim ke Jepang, padahal Mitsui masih butuh. Dia lalu mendirikan perusahaan yang merekrut pekerja dari galangan lokal untuk kerja magang di Jepang. “Saya pikir ini jalan yang baik guna meningkatkan skill dan perekonomian pekerja kita, apalagi kebutuhan welder di Jepang cukup besar,” ungkapnya. Baru berjalan beberapa tahun, permintaan welder tiba-tiba melejit setelah Presiden Joko Widodo meluncurkan program Tol Laut pada 2014. Saat itu galangan kekurangan tenaga pengelasan karena tidak dipersiapkan. Akibatnya, saling ‘membajak’ tenaga welder tidak dapat dihindari. “Ada tenaga pengelasan dari sekolah kejuruan tapi outputnya kurang, sebagian mereka juga sudah terserap ke industri lain. Apalagi tenaga magang ke Jepang, tidak ada,” kenangnya.

BANTUAN KEMENPERIN

Moenir mengakui upayanya merintis KWI tidak selalu berjalan mulus. Pada awal berdiri, dia sempat kesulitan merekrut calon siswa karena biaya pelatihan sekitar Rp30 juta per orang saat itu dianggap mahal. “Tidak ada yang sanggup bayar, saya kurangi sampai Rp7 juta pun tidak ada yang sanggup. Akhirnya saya ajak teman-teman dari galangan dan subkontraktor untuk melatih pekerjanya di sini. Mereka setuju bahkan ikut bantu sebab pengelasan penting dalam pembangunan kapal yang menuntut standar tinggi,” ujarnya.

Setelah berjalan dua angkatan, setiap angkatan 6 minggu, KWI mendapat bantuan dari pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Tenaga welder yang dihasilkan KWI dinilai sangat penting untuk mendukung program Tol Laut yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Poros Maritim Dunia. “Bantuan dari Kemenperin sangat berarti bagi kami. Sebagian biaya, seperti untuk seragam, makan, plat baja, dan instruktur, ditanggung Kemenperin. Adapun fasilitas, gaji, administrasi, perawatan mesin dan lain-lain kami usahakan sendiri,” papar Moenir. Berkat bantuan itu, siswa KWI hanya dipungut biaya Rp2 juta untuk 6 minggu pendidikan, itu pun tidak mutlak. Bagi siswa yang tidak mampu bisa mendapatkan beasiswa dari KWI. Untuk panduan belajar, siswa dibekali buku yang diterbitkan oleh KWI. Buku itu berasal dari e-Book Diknas tentang pengelasan kapal.

Untuk menghasilkan lebih banyak welder profesional, Moenir menawarkan pihak lain untuk bekerja sama ataupun mencontoh pengalaman KWI. Sebagai contoh, Djarum Foundation meminta KWI menjadi penasihat perencanaan program pendidikan pengelasan di Kudus. Yayasan itu juga menspon- sori penyempurnaan buku panduan pengelasan yang diterbitkan KWI. “Saya mengajak daerah-daerah lain untuk mengembangkan tempat pelatihan seperti KWI. Saya bersedia membantu, mendidik instruktur, pakai buku dari sini. Kerja sama apapun agar bisa mencetak welder lebih banyak lagi,” ungkap Moenir.

Pelatihan juga siap diberikan untuk guru SMK, seperti yang sudah dilakukan KWI sejak 2015. Guru SMK dari seluruh Indonesia diundang mengikuti pelatihan gratis selama 20 hari. Dia bersyukur Kemenperin juga membantu biaya pelatihan guru SMK itu mulai tahun ini. SERTIFIKASI INTERNASIONAL Selain memberikan pendidikan dan pelatihan, KWI juga melaksanakan hampir semua sertifikasi bekerja sama dengan Biro Klasifikasi Indonesia (Class BKI) dan anggota International Association of Classification Societies (IACS), antara lain Lloyd Register (Class LR) Inggris dan Nippon Kaiji Kyoukai (Class NK) Jepang. Selain itu, KWI melakukan tes untuk International Institute of Welding, serta sudah diakreditasi oleh Malaysia yang mengharuskan semua pekerjaan pengelasan memiliki sertifikat.

Selain Mitsui E&S, ungkap Moenir, banyak galangan kapal Jepang yang meminta tenaga kerja magang dari KWI, di antaranya Tsuneishi Shipyard, Oshima Shipbuilding, dan Kitanihon Shipyard. Selama ini, perusahaan Jepang banyak menggunakan pekerja dari China, Vietnam, atau Filipina. Namun, upah di China meningkat beberapa tahun terakhir sehingga bekerja di Jepang menjadi kurang menarik lagi.

Selain welder dari China, Vietnam dan Filipina cukup tersedia, orang Jepang juga ragu mengganti pekerja dari negara-negara itu. Mereka khawatir orang Indonesia yang mayoritas muslim kurang produktif sebab harus berpuasa dan salat lima kali sehari. Padahal berdasarkan pengalaman PAL dan KWI dengan Mitsui selama ini tidak pernah ada masalah itu. Untuk menghilangkan kekhawatiran itu, dia menganjurkan agar pemerintah dan Kedubes RI mengedukasi industri Jepang bahwa pekerja Indonesia juga punya potensi dan produktif.

Meskipun usianya tidak lagi muda, genap 70 tahun pada 25 Desember nanti, Moenir tampak masih bersemangat mewujudkan mimpinya. Bagi dia, upaya yang dilakukannya hanyalah bagian dari ibadah. Apalagi, pengembangan sumber daya manusia (SDM) kompeten melalui pendidikan dan pelatihan kerja merupakan salah satu fokus kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo guna memperkuat daya saing Indonesia. “Ada kepuasan batin ketika saya melihat anak-anak dari kampung yang tadinya tidak tahu apa-apa mengenai pengelasan bisa bekerja hingga ke Jepang dengan penghasilan layak. Saya senang bisa memberikan kesempatan kepada mereka,” ungkapnya.


Sumber: Kementrian Perindustrian Indonesia

Awalnya dipublikasikan pada27 December 2019 @ 1:05 AM

Leave a Reply