Pakar Maritim Jerman Akui Perahu Asal Sulawesi Selatan Adalah Karya Industri Maritim Hebat

Perahu adalah hidup Horst Hebertus Liebner. Tepatnya perahu tradisional asal Sulawesi Selatan. Karena perahu pula, pria kelahiran Oberhausen, Nordrhein-Westfalen, Jerman itu menetap bertahun-tahun di kota pusat pembuatan perahu tradisional di Indonesia, Tana Beru. Karena perahu juga, pakar maritim itu sejenak meninggalkan Sulawesi Selatan dan hadir bersama Kementerian Kemaritiman untuk menyerahkan replika perahu pinisi ‘Maritim Jaya’ yang kini dipajang di International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), Hamburg, Selasa (24/09).

Antroplog maritim itu begitu terpukau dengan tradisi perahu tradisional Indonesia hingga akhirnya melakukan penelitian dan meraih gelar Doktor dari Univesity of Leeds. “Sebelum revolusi Industri, ciptaan manusia terbesar, terrumit, adalah kapal. Tidak ada lebih dari itu. Katedral, oke lah. Tapi membangun perahu lebih rumit. Jadi itu suatu teknologi yang sangat-sangat detail,” katanya menjelaskan.

Namun di banding perahu-perahu lainnya, bagi Liebner perahu Sulawesi Selatan itu memiliki keistimewaan sendiri sehingga mendapat penghargaan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia tahun 2017. Liebner menjelaskan biasanya para pembuat perahu dari suku Konjo akan menyusun papan badan perahu terlebih dahulu dibandingkan dengan membangun kerangka perahu seperti kebiasaan di Eropa. Itulah sebabnya, jika dilihat kapal-kapal Eropa dari abad ke-18 selalu dua kali dilapisi papan, karena dengan kerangka saja dianggap tidak cukup kuat.

Selain itu, nenek moyang orang Bugis-Makassar itu juga menguasai pengetahuan dan teknologi mengolah kayu. Ia memaparkan papan perahu tidak dipaksa bengkok, tapi dibuat mengikuti bentuk kayunya. Umumnya papan berasal dari kayu utuh yang dipotong-potong menyesuaikan tempat yang dibutuhkan di dalam konstruksi perahu.

“Ini sebenarnya semua orang bilang, pinisi warisan dunia, tapi bukan itu, pengetahuan membuatnya dan melayarkannya, itulah yang dijadikan warisan dunia, itu jauh lebih kaya dari pinisi saja. Keseluruhan pengetahuan itulah yang dijadikan warisan dunia,” tutur pria yang juga ahli linguistik itu.

Liebner dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam bahasa Konjo ada 15 istilah hanya merujuk pada bentuk lambung kapal dan ada 10 kata hanya untuk menggambarkan bentuk papan.

Ditertawakan dan diremehkan

Namun di balik penghargaan dunia akan pengetahuan pembuatan perahu tersebut, penulis buku The Siren of Cirebon itu menemui kenyataan berbeda. Suatu waktu ketika awal 1990-an ia menjadi dosen untuk studi Antropologi di Universitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Makassar, Liebner kerap memperlihatkan foto pembuat perahu di Pulau Bira yang berdiri dengan bangga di depan perahu kayu setelah selesai bekerja.

“Itu dulu slide kan, mahasiswa tertawa. Semester pertama saya heran, semester kedua saya tanya, kenapa tertawa?” Itu orang desa, kok sombong, jawab mahasiswa saya. Lalu saya tanya, kamu sebenarnya dari mana? Sopeng? Lalu satu nama desa disebut. Orangnya dari desa juga,” kata Liebner sambil menambahkan rasa minder itu sudah muncul di tengah keluarga, ketika orang tua menegur anak yang malas dengan menyebut sang anak akan menjadi pembuat perahu.

Namun sikap yang sama ia temui juga dari para pejabat ketika menggelar Sandeq Race, merujuk pada lomba adu cepat perahu sandeq – perahu suku Mandar di Sulawesi Barat – yang digelar sejak tahun 1995.

Saat itu, para pelaut yang sudah berlayar sejauh 600 kilometer dengan rute Mamuju (Sulawesi Barat) – Makassar (Sulawesi Selatan), diminta untuk berenang dari perahunya menuju tempat yang disediakan. “Penghargaan ini untuk mereka, bukan untuk tamu,” kata Liebner menjelaskan, namun belakangan ia ditegur karena penampilan pelaut yang basah dianggap tidak menghargai para pejabat yang hadir. “Mereka tidak dihargai, penghargaan terhadap upaya mereka tidak diperhatikan,” tutur pria yang meneliti sandeq, yang dikenal sebagai perahu nirmesin tercepat di perairan Austronesia itu.

Lewat perahu, Indonesia mendunia

Menurutnya, persepsi yang kurang bangga akan tradisi maritim ini tumbuh karena sudah dibentuk di era kolonial Belanda. “Kalau kita lihat, karangan Belanda sebelum PD II yang mulai membahas sejarah Indonesia secara detail, cukup netral. Pada saatnya mereka membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan kemaritiman, Belanda selalu ada kesan: kebetulan. Itu kemungkinan besar karena mereka tidak ingin disaingi di laut, di darat kan sudah jelas. Melihat Borobudur. Apakah ada saingannya?” papar Liebner.

Tradisi maritim Indonesia tak hanya sebatas pinisi, yang menurut Liebner artinya sebenarnya mengacu pada jenis sistem layar bukan jenis kapal yang dibangun oleh suku Konjo itu. Menurut catatan sejarah, jenis kapal lainnya dari Sulawesi Selatan yakni Padewakang, kapal dagang jarak jauh yang sudah berlayar hingga ke Tanjung Pengharapan, Afrika. Pelaut nusantara juga sudah menjalin kontak dengan warga Aborigin di Australia, jauh sebelum Kapten Cook dari Inggris menjejakkan kaki di pantai timur benua itu pada April 1770. Itulah sebabnya kini satu kapal Padewakang sedang dibangun untuk berlayar ke Australia November 2019 nanti untuk mengikuti peringatan 250 tahun kedatangan Kapten Cook.

“Ada satu organisasi Islam, orang Australia yang ingin memperkenalkan bahwa Australia bukan hanya cerita orang bule-bule doang. Sebelum ada Cook, sudah ada orang Makassar misalnya di bagian Utara. Mereka berlayar ke sana mau cari teripang,” kata Liebner.

Bukti kontak dagang itu ditemui melalui kontrak tertulis mengenai perdagangan teripang dari Makassar dan diterbitkan abad ke-19 oleh Belanda. Dan hubungan bisnis itu terhenti tahun 1906.

Kini pembuatan perahu tradisional buatan Sulawesi Selatan itu kembali bangkit, dan tak jarang para pengrajin perahu menerima pesanan dari peminat di luar negeri. Perahu Padewakang misalnya telah dipamerkan di Museum la Boverei di kota Liege, Belgia, pada pemeran Kingdom of The Sea Achipelago 2017 lalu. Bertepatan dengan ketika perahu pinisi mendapat penghargaan dari UNESCO di Pulau Jeju, Korea.

“Dengan adanya ini warisan dunia, kan semestinya orang mulai pikir. Kok kita dapat warisan maritim dunia pertama yang diberikan ke siapapun di dunia. Yang dapat itu Tanah Beru, Ara, Lemo-Lemo, Bira. Mereka yang dapat, bukan Inggris, bukan Belanda. Sulawesi yang pertama,” kata Lieber. ts/yp

source: DW


 

Awalnya dipublikasikan pada6 Juni 2020 @ 10:30 PM

Tinggalkan Balasan